Senin, 15 September 2008

Karya Terbaik Ku

Di Indonesia waralaba atau franchise dikenal sejak era tahun 1970-an ketika masuknya McDonalds, KFC, Subway, Burger King, A&W, Dunkin Donuts, Pizza Hut, Seven Eleven dan beberapa merek lainnya. Bagi perusahaan asing, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial. Hal itu dapat dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa. Dari jumlah itu, kelas menengahnya mencapai 15-17% dengan struktur usia di bawah 30 tahun kurang dari 50%. Dengan potensi pasar yang besar ini maka tidak mengherankan banyak sekali perusahaan franchise asing yang ingin masuk ke Indonesia. (http://elqorni.wordpress.com).
Pada saat ini menurut survei majalah info franchise menemukan bahwa pertumbuhan industri franchise adalah sangat besar yaitu 33,64% dibandingkan dengan bisnis industri yang lain. Dari industri tersebut sektor food and beveragelah yang mendapatkan omzet paling besar dibandingkan sektor industri franchise lainnya yaitu sebesar Rp.34,76 trilliun (Majalah Info Franchise).
Didalam usaha franchise itu sendiri terdapat berbagai macam kategori usaha, salah satunya adalah kategori rumah makan atau restoran yang termasuk pada sektor food and beverage. Usaha restoran dewasa ini menunjukkan perkembangan yang relatif pesat, terbukti semakin banyaknya restoran asing maupun lokal yang masuk ke Indonesia khususnya di Kota Bandung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa intensitas persaingan dalam bisnis restoran semakin kuat. Jenis restoran seperti ini umumnya berada di lokasi-lokasi yang strategis dengan melakukan pelayanan makanan yang cepat terhadap para konsumennya. Jenis restoran yang menyajikan makanan dengan sangat cepat atau siap saji dikenal dengan sebutan restoran fast food.

Restoran fast food umumnya merupakan restoran asing yang masuk ke Indonesia dalam bentuk kemitraan bisnis dengan pola franchise. Pihak franchisor mempunyai produk atau jasa yang ingin dijual dan atau memilih untuk tidak memperluas usahanya sendiri, tetapi menjual haknya (paten) untuk menggunakan nama produk atau jasanya kepada franchisee yang menjalankan usahanya secara semi independen. Franchisor menyediakan paket yang mencakup pengetahuan dari usahanya, prosedur operasi, penyediaan produk dan cara-cara promosi penjualan. Franchisee membayar sejumlah uang (royalty fee) kepada franchisor, menyediakan restoran (tempat), mengadakan persediaan dan peralatan operasi. Franchisee membayar royalti yang bervariasi sekitar 8%-15%, dihitung berdasarkan volume penjualan. Beberapa restoran yang menggunakan pola bisnis franchise, yaitu seperti KFC (Kentucky Fried Chicken), McD (McDonald’s), TFC (Texas Fried Chicken), Hoka-Hoka Bento dan lain–lain (http://www.majalahfranchise.com/).

Salah satu wilayah yang pada saat ini sedang marak-maraknya dipadati oleh para konsumen restoran fast food adalah di Kota Bandung. Kota ini telah dikenal sebagai surga kuliner, dikarenakan pada setiap akhir pekan selalu banyak wisatawan lokal terutama dari Jakarta untuk menikmati liburan atau sekedar berwisata kuliner. Sedangkan kecenderungan penduduk kota Bandung sendiri terhadap restoran fast food adalah apabila seseorang makan di restoran fast food maka dinilai memiliki nilai sosial atau gengsi tersendiri yang mampu mengangkat kesan akan status dirinya (http://www.pintunet.com). Disamping itu juga para konsumen yang datang pada restoran fast food ini adalah mayoritas orang yang memiliki kegiatan atau pekerjaan yang padat sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan makanannya sendiri (http://www.pintunet.com). Pada restoran fast food semacam ini sering pula ditemui bahwa tempat ini tidak hanya dimanfaatkan untuk tempat makan saja, tetapi dapat juga sebagai tempat perayaan acara-acara ulang tahun, syukuran, sambil rekreasi, tempat berkumpul dan sebagai sarana bermain anak-anak agar tidak mengganggu para orang tuanya yang sedang menikmati makanannya (http://one.indoskripsi.com/).

Berdasarkan pemaparan diatas begitu banyak fungsi yang ditawarkan oleh perusahaan akan manfaat dan semua hal yang bisa didapatkan konsumen yang berkunjung pada restoran fast food tersebut. Sebagai konsekuensinya, timbul banyak sekali persepsi dibenak konsumen terhadap restoran fast food tersebut. Apabila pelanggan yang merasa kebutuhannya telah sesuai dengan apa yang ia terima maka otomatis konsumen itu akan merasa puas, tetapi sebaliknya apabila tidak sesuai dengan harapan maka konsumen tersebut akan merasa kecewa. Dalam hal ini perusahaan dituntut untuk mampu memuaskan para konsumennya, dikarenakan adanya kenyataan bahwa konsumen yang tidak puas terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya akan mencari penyedia barang atau jasa dari perusahaan lain yang mampu memuaskan kebutuhannya (Barky dalam Suhartanto, 2001). Tetapi pada saat ini konsumen yang puas saja tidaklah cukup untuk membangun atau membentuk basis pelanggan yang loyal (Griffin, 2005). Hal ini dikarenakan bahwa berdasarkan data yang ada dikatakan bahwa franchise lokal lebih banyak dibandingkan dengan franchise asing yaitu franchise lokal sekitar 544 perusahaan dan franchise asing sekitar 156 perusahaan. Berdasarkan survei industri franchise tersebut juga diperlihatkan bahwa jumlah outlet yang dimiliki oleh franchise lokal lebih banyak dibandingkan dengan franchise asing yaitu franchise lokal berjumlah 27.454 buah sedangkan franchise asing sekitar. 4.373 buah. (Majalah Info Franchise). Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat ini bisnis franchise asing memiliki banyak sekali pesaing yaitu yang berasal dari waralaba lokal. Oleh karena itu faktor puas saja masih belumlah cukup untuk memenangkan persaingan, tetapi pada saat ini perusahaan harus berusaha membuat para konsumennya itu menjadi loyal terhadap perusahaannya. Loyalitas pelanggan juga memiliki peran penting dalam sebuah perusahaan, mempertahankan mereka berarti meningkatkan kinerja keuangan dan mempertahankan esksistensi dari perusahaan itu sendiri (Hurriyati, 2008). Oleh karena itu perusahaan pada saat ini dituntut agar dapat menjadikan para konsumennya itu dapat menjadi setia atau loyal kepada perusahaannya dikarenakan tumpuan perusahaan untuk tetap mampu betahan hidup adalah pelanggan-pelanggan yang loyal (Gilbert dalam Hurriyati 2008). Banyak sekali keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan apabila para konsumennya itu telah loyal. Menurut (Barness dalam Hurriyati, 2008) dikatakan bahwa konsumen yang loyal akan melakukan pembelian berulang, lalu akan merekomendasikannya kepada teman dan kerabat terdekatnya dan yang terakhir akan melakukan peningkatan proporsi pembeliannya. Untuk membangun dan mendapatkan loyalitas konsumen tersebut, pengukuran dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggan sangat penting dilakukan (Suhartanto, 2001), sehingga dalam hal ini perlu dilakukan adanya suatu penelitian mengenai loyalitas konsumen untuk menjaga kesetiaan, kepercayaan, citra serta eksistensi dari perusahaan tersebut dimata konsumen.

Menurut Kusdibyo (2005), dikatakan bahwa kategori fast food merupakan kategori hybrid yaitu penawaran terdiri dari barang dan jasa yang sama besar porsinya. Sehingga dalam hal ini perlu dilakukan analisis strategi bauran pemasaran yang terdiri dari dua sifat keberadaan yaitu tangible yaitu barang diwakili dengan 4p yaitu produk, harga, lokasi dan promosi sedangkan intangible yaitu jasa diwakili dengan 3p yaitu sumber daya manusia, saranan dan proses untuk dapat mengukur tingkat loyalitas para konsumen restoran fast food waralaba asing tersebut.

Penelitian ini mencoba mengidentifikasi strategi bauran pemasaran restoran fast food waralaba asing sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap tingkat loyalitas pelanggan yang diterima. Dengan melakukan strategi bauran pemasaran sebagai penelitian ini diharapkan dapat mengetahui sejauh mana persepsi konsumen terhadap restoran fast food waralaba asing, mengetahui seberapa besar tingkat loyalitas konsumennya serta mencari faktor yang paling dominan dari bauran pemasaran tersebut yang paling berpengaruh terhadap tingkat loyalitas konsumen.

Berdasarkan data dan uraian yang telah dipaparkan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Strategi Bauran Pemasaran Terhadap Loyalitas Konsumen Makanan Cepat Saji Waralaba Asing Di Bandung”.

Dari 315 responden yang ada maka didapatkan hasil yaitu dari analisis data menunjukan bahwa persepsi konsumen yang paling baik dari ke tujuh variabel bauran pemasaran adalah variabel sumber daya manusia, sedangkan persepsi yang kurang baik adalah variabel harga. Dari hasil tersebut ternyata bauran pemasaran hanya berpengaruh sebesar 14,2% terhadap loyalitas konsumennya. Variabel yang mempengaruhinya yaitu harga, produk dan lokasi. Sedangkan variabel lainnya yaitu promosi, sumber daya manusia, suasana outlet dan proses kurang begitu mempengaruhi loyalitas dari para konsumennya. Disisi lain, harga merupakan variabel yang paling dominan. Jika ini dikaitkan dengan persepsi konsumen terhadap harga, ini dapat diartikan bahwa konsumen Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Alasannya, dikarenakan daya beli dari konsumen Indonesia pada saat ini masih dipengaruhi oleh krisis ekonomi tepatnya dikarenakan kenaikan BBM.

"Penelitian ini telah disidangkan dan disahkan oleh Ketua Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Bandung dan telah di Hak Patenkan oleh pihak Politeknik Negeri Bandung atas nama Cepi Hendi Sonjaya dengan no. 05731006".